Sabtu, 24 Januari 2009

Belajar Kearifan di Bumi Jalatunda (1)

Nama Jalatunda dalam idiom wayang diJawa selalu mengingatkan orang akan keberadaan sumur. Sumur Jalatunda juga dapat kita jumpai di beberapa tempat. Di lereng barat gunung Penanggungan daerah Mojokerto terdapat patirtan bernama Jalatunda. Di Jawa Tengah, daerah Klaten, desa Jatinom, juga terdapat umbul Jalatunda. Demikian pula di kawasan budaya dan obyek wisata Dieng didapati bekas kawah yang kemudian disebut pula sumur Jalatunda.

Nah, yang akan dipaparkan dalam tulisan ini adalah sebuah desa bernama Jalatunda. Desa ini masuk dalam wilayah kecamatan Mandiraja di kabupaten Banjarnegara. Posisi geografis desa ini terletak pada 7 derajat 27 menit Lintang Utara; dan 109 derajat 31 menit Bujur Timur.
Desa Jalatunda ini luasnya 684,660 Ha. Berbatasan dengan desa Merden di bagian utara, sebelah timur ada desa Kalitengah; bagian barat berbatasan dengan desa Somawangi; sedangkan di sebelah selatan desa Jalatunda adalah desa Kalikumbang yang masuk kecamatan Sempor, kabupaten Kebumen.
Desa dengan topografi dataran dan lereng pada ketinggian 50,4 mdpl dan curah hujan 35 mm/tahun; bersuhu rata-rata antara 26–30 derajat Celcius. Desa ini berjarak 6 km dari Mandiraja dan 27 km dari kota Banjarnegara. Jumlah penduduk desa ini: 5.714 orang; dengan rincian 2.844 laki-laki dan 2.870 perempuan ini; terhimpun ke dalam 1.197 Keluarga (KK). Pertanian menjadi sektor andalan yang diwariskan turun-temurun. Dengan hamparan tanah produktif seluas 297 Ha lahan padi dan palawija. Tetapi desa ini memiliki kawasan hutan (pinus) cukup signifikan, yakni seluas 105 Ha. Mayoritas penduduk adalah petani dan buruh tani, serta hanya ada 4 orang PNS.
Terdapat 11 grumbul atau pedukuhan di desa Jalatunda. Diantaranya: Praugosok, Krinjing, Karanggedang, Kalijambe, Sema, Sawangan, Muntang, Klapapondoh, Gelap, Kemokong dan Karangkobar.

Etos Kerja Petani Gunung

Banyak orang yang tinggal di kawasan selatan mengenal petani desa Jalatunda sebagai pekerja yang tergolong tangguh dan jujur. Popularitas petani Jalatunda, yang tangguh dan jujur itu, dikenal bukan hanya di kawasan ngarai, melainkan hingga jauh ke pesisir Gombong selatan. Di desa Jladri, Kec Buayan misalnya; manakala datang musim-musim tanam dimana dibutuhkan mobilitas tenaga produktif di lahan-lahan persawahan. Selalu ada kelompok-kelompok kecil petani "boro", yang siap bekerja di sana dan bahkan tinggal untuk beberapa minggu lamanya. H. Sutrisno (65 th), pernah menjelaskan bahwa untuk membantu mempersiapkan lahannya ia menggunakan jasa petani Jalatunda yang ia kenal memiliki etos kerja tinggi.
Relasi tradisional dalam pola pengolahan demikian telah menciptakan lebih dari sekedar simbiosis-mutualism, tetapi juga memunculkan pula relasi unik yang dalam idiom tradisi disebut "paseduluran". Paseduluran demikian secara kultural telah menghapus sekat-sekat sosial, yang pada gilirannya menempatkan manusia ke dalam kedudukan yang setara. Kearifan tradisonal dalam tata hubungan eksternal masyarakat Jalatunda telah mendorong sistem sosial agraris yang egaliter.

Jalatunda Kini

Menapaki jalanan masuk desa Jalatunda orang akan terkesan dengan potensi alam, hasil bumi serta potensi budayanya. Bentangan lahan padi dan palawija, dengan huma di kejauhan, bukit dan kelok sungai.
Sumber daya pertanian yang ada dengan 297 Ha total lahan produktif, tetapi dengan sedikit jaringan irigasi setengah teknis, sedang selebihnya merupakan kawasan terbuka tadah hujan. Memang, di bagian tenggara desa ada sebuah sumber air besar yang berdekatan dengan hutan desa. Sebagian penduduk dengan cara patungan membangun jaringan pipa sepanjang puluhan kilometer untuk dapat memanfaatkan air yang ada.
Tetapi minimnya sumber daya air telah menjadi problem klasik. Padahal dahulu di sekitar pemukiman cukup banyak terdapat umbul-umbul atau sumber air kecil yang bisa dimanfaatkan untuk cadangan air minum. Telah lama pula sumber-sumber air ini kering dan tiada lagi. Kelangkaan sumber air ini tak cukup ditanggulangi dengan pengeboran sumur-sumur di sekitar rumah, karena sumur demikian hanya mampu sebentar menampung air dari hujan lewat sedikit resapan.
Tak cukup ketersediaan air, baik untuk keperluan tradisi pertanian maupun kebutuhan rumahtangga sebagian penduduk. Ada perubahan alamiah yang sebabkan kelangkaan air. Dan itu bukan sekedar karena ada alih fungsi hutan-hutan kecil di sekitar pemukiman, yang berubah menjadi tempat-tempat hunian baru. Seluas 105 Ha bentangan hutan di bagian selatan desa dikelola Perhutani dengan menanam pohon pinus. Ini menunjukkan bahwa di Jalatuda pernah diterapkan kebijakan deforestrasi tanaman yang mengubah hutan lama dengan tanaman budidaya berdaun jarum.
Kesaksian tentang lenyapnya sumber-sumber mata air di sekitar pemukiman sebenarnya merupakan fenomena alam kekinian yang menarik buat dipermanai. Ini akan memberi gambaran lebih jelas atas pertanyaan: Apa yang sebenarnya pernah dan akan terjadi di Jalatunda?
Dan apakah juga semua fenomena ini memiliki taut budaya dengan tradisi-tradisi yang ada di masyarakat Jalatunda. Sejak awal telah ada maskot misterius di sana.