Selasa, 27 Januari 2009

Belajar Kearifan di Bumi Jalatunda (2)

Ruas jalan desa di depan rumah Kades Jalatunda siang itu menguapkan panas yang membikin badan terasa gerah. Tetapi tidak demikian dengan ratusan orang yang masih bertahan mengepung tratak panggung yang sejak malam sebelumnya mulai digelar pentas wayang kulit. Diseberang layar, masih dalam kompleks pekarangan Kades; deretan kursi juga penuh dengan penonton yang kebanyakan adalah penduduk desa Jalatunda dan sekitarnya.
Adalah Satam (46 tahun), Kades yang baru 1,5 tahun memimpin desa ini menuturkan bahwa ritual "ruwat bumi" yang menghabiskan biaya tak kurang dari Rp. 9 juta; untuk tahun ini tidak memungut beban biaya sesen pun kepada warganya. Pamong masyarakat yang masih kelihatan enerjik pada usianya ini, berani merogoh kocek sendiri. Meskipun begitu, untuk menutup kekurangan biaya pesta ia memobilisir dukungan finansial dari mereka yang sukses di luar kota serta berbagai fihak yang berempati akan tradisi ini. Dimana dalam kehidupan spiritual masyarakat Jalatunda, ritual demikian telah dilangsungkan sejak dahulu kala. Ia juga melihat urgensi dari tradisi ini, yakni sebagai peringatan buat semua, bahwa manusia yang telah menempati bumi ini secara turun-temurun, hendaknya selalu ingat dan selalu menghormati serta menjaganya kelestariannya.
Pada malam sebelumnya, pagelaran wayang yang didalangi oleh Sardjono (50 th) mengambil tema cerita pendirian negara Jawa. Bagaimana tatanan potensial bumi Jawa yang terdiri dari berbagai anasir alamiah itu diperikan untuk kemudian dipersatukan semua sumber daya yang ada di dalamnya. Berdirinya negara adalah sebuah proses panjang untuk mengharmoniskan semua anasir alam itu; berikut segala kontradiksinya. Bumi, langit, tanah, air, kayu, api, energi; sawah, sungai, laut, gunung, hutan, huma, hewan, unggas, serangga dan manusia. Semuanya.
Pentas wayang semalam suntuk ini hanya diistirahatkan sementara untuk menyongsong fajar. Pagi berikutnya, masih dengan dalang "ruwat" yang sama dilanjutkan kembali. Nyata sekali, dalam budaya Jawa, bagaimana wayang menjadi media "wewarah" dan alat "piwulang" atau pembelajaran sosial. Epik dipaparkan dengan simbol-simbol yang memiliki kelekatan dalam ingatan kolektif masyarakat.
Di atas semua itu, pendulum harapan meneruskan hidup bermartabat bagi semuanya menjadi kewajiban yang harus diembani negara. Kemuliaan cita inilah yang tidak boleh dilupakan oleh pemimpinnya.

Entitas Putut Jantaka.


Dalam kehidupan masyarakat tradisi Jalatunda, terdapat mitos yang sarat dengan kearifan tetapi disampaikan dengan simbol-simbol. Misalnya, ada seorang yang melakukan kebohongan dalam hidupnya. Maka ia akan berhadapan dengan advis sosial yang pada intinya berbunyi:
"Jangan bohong. Nanti akan menjadi mangsa Buta Jantaka".
Aras dari nilai-nilai kearifan ini bersumber pada referensi mitos cerita Putut Jantaka. Sebagaimana di"babar"kan oleh Ki Dalang, dalam epik yang melegenda. Adalah Joko Walidarmo; sosok pemimpin atau "Ratu Tani" yang dalam misi pangayomaning kawulo (menjadi pelindung rakyat); harus menghentikan "kerusuhan" yang dilancarkan seorang raksasa sakti bernama Putut Jantaka.
Berhadapan dengan Ratu Tani, betapa pun saktinya sang raksasa, tak bakalan berani karena kalah kesaktiannya. Tetapi sang raksasa butuh hidup dan untuk itu ia butuh makan. Maka kebijakan apa yang dibuat oleh seorang Ratu Tani itu terhadap hak dasar rakyatnya itu?
Jiwa kenegarawanan Jawa sejati selalu menemukan jawaban atas semua persoalan. Oleh Ratu Tani sang Putut Jantaka diijinkan memangsa apa yang menjadi haknya. Yakni semua hal yang dihasilkan dari kebohongan manusia. Esensi dari ajaran kearifan ini adalah: apapun yang dihasilkan sebagai akibat dari proses atau perilaku kebohongan itu, sejatinya hanya menjadi haknya raksasa. Manusia sejati tak boleh mengambil apa pun yang bukan menjadi haknya!
Dan Putut Jantaka itu hingga kini masih hidup dalam jagat spiritual Jalatunda dengan satu kewajiban pula: menjaga kelestariannya.