Kamis, 29 Januari 2009

Belajar Kearifan di Bumi Jalatunda (3)

Saat embun mulai mengering di ujung daun, desa Jalatunda telah sibuk di pagi hari itu; Jum'at Legi, 23 Januari 2009. Hari begitu cerahnya sejak kemarin lusa.
" Ini hari selamatan bumi", kata Sandjuki (90 th), warga dukuh Kemukus dalam dialek lokal.
" Kenapa bumi harus dislameti?"
" Itu kewajiban kami, mensyukuri semua yang telah dihasilkan dari bumi, dengan cara persembahan"
Untuk keperluan itu pula, Parimun (36 th) yang telah belasan tahun tinggal dan bekerja di Jakarta , menyempatkan pulang ke desa asalnya.
Dan orang-orang pun berdatangan. Makin siang makin banyak pula yang datang ke tempat itu.
Pernahkah membayangkan barisan semut yang beriringan keluar dari celah batu di sebuah bukit?
Maka begitulah gambaran yang tengah terjadi di Jalatunda. Dan mereka bukan datang dengan tangan hampa. Laki-perempuan, tua-muda; juga anak-anak. Di punggung para orang dewasa bergayut bakul berisi nasi tumpeng beserta lauk-pauknya. Ditangannya terjinjing keranjang dari plastik tenun, tikar atau beberapa lembar daun pisang. Keramaian ini tak disia-siakan oleh para penjual berbagai barang kebutuhan. Bahkan ada pula suami-istri pedagang tembakau yang jauh-jauh datang dari daerah Temanggung. Keramaian Jalatunda juga menciptakan putaran dan arus finansial di kalangan bawah.

Tradisi "Caos" di Igir Tempayak

Jejak sejarah mengenai asal-muasal Igir Tempayak hanya ada dalam budaya tutur masyarakat Jalatunda. Literatur tentang itu, sejauh ini, hanya tesimpan dalam ingatan banyak orang di sana. Dan diantara banyak orang yang menjadi "perpustakaan hidup" itu adalah Miran Miharjo (50 th) yang juga masih bekerja sebagai mandor hutan. Bukan tanpa alasan jika ia harus mau mengembani tradisi selamatan bumi di desanya. Wahyu "kuncen" atas pundhen Igir Tempayak, menurut alur kesufian telah diturunkan kepadanya. Dalam melaksanakan amanah kampung ini ia mendapat dukungan Marsan Machori (60 th), yang terhitung masih kerabat dekatnya.
"Selamatan di Igir Tempayak, sesuai tradisi, akan dibabar pada jam genap" umumnya kepada hadirin, tamu undangan dan peziarah.
Hingga jam 10.00 wib, siang itu, masih juga banyak orang berdatangan ke sana. Halaman seluas lapangan badminton di kompleks pundhen dipenuhi tumpeng berikut orang-orang yang mengiringnya.
Diakui oleh Sang Kuncen, jumlah peziarah tahun ini tidaklah kurang dari seribuan orang. Mereka datang dari desa Jalatunda dan sekitarnya, tetapi banyak pula yang datang dari kota-kora lain. Seperti Rembang, Semarang, Pemalang, Comal, Wonosobo, Temanggung, Cilacap, Kebumen dan Banjarnegara sendiri. Juga dari Ciamis dan Sacang Tasikmalaya, bahkan ada pula yang datang dari Lampung dan Riau.

Spirit persembahan (caos) telah menjadi cara memanifestasikan keinginan banyak orang di sana. Menurut Teguh Budiyanto (53 th), warga Mandiraja Kulon yang telah lebih lima tahun membantu memfasilitasi antrian peziarah, mengaku senang jika ia dapat memberikan partisipasinya. Kebanyakan peziarah itu, disamping membawa hasil bumi dan sesaji, dipandu oleh Sang Kuncen juga mengikrarkan masud keinginannya di depan pundhen. Banyak diantara pengunjung itu mengakadkan bahwa apabila segala keinginannya itu terkabul, maka tak akan lupa baginya untuk memberikan persembahan pada ritual tahun berikutnya.
Sementara itu di halaman depan antara bangunan pundhen dan serambi tamu, di tempat mana hadir tamu dari aparatus negara dan beberapa pejabat dinas; digelar pula pementasan seni tadisi Daeng. Yakni tarian tradisional yang terdapat di desa Jalatunda dan dimainkan oleh 8 penari. Baru setelah lepas tengah hari hingga sore harinya digelar seni ebeg yang dimainkan oleh Kelompok Kuda Kepang "Setio Budoyo" dari Jalatunda.
Usai sudah di senja itu, ketika gerimis turun sejenak; serangkaian ritual Ruwat Bumi dan Selamatan Bumi yang dilangsungkan selama dua hari terakhir. Raut kelegaan nampak menghiasi wajah banyak orang di sana. Dan yang paling mengesankan berada di tengah masyarakat Jalatunda adalah watak sosial yang terbuka, jujur dan familiar. Sepertinya, entitas masyarakat Jalatunda yang demikian itu telah memiliki suatu identitas baru.