Sabtu, 11 April 2009

Konservasi Ekologi Budaya Lereng Lawu

oleh: Ari Kristianawati*)

LERENG Gunung Lawu yang membelah empat Kabupaten di Jateng dan Jatim menyimpan potensi kekayaan alam dan budaya eksotis. Lereng Lawu adalah “surga” bagi dunia wisata. Banyak aset wisata religi, alam, seni rakyat yang hinggap di komunitas masyarakat Gunung Lawu.

Dalam dunia kebatinan Jawa (religion of Java), Gunung lawu adalah sentra pelindung serta sumber “kamukten” bagi para raja Jawa pada Masa lalu. Bahkan sampai sekarang Gunung Lawu masih ditempatkan sebagai tameng perlindungan kultural para penerus kerajaan Jawa yang kehilangan basis otoritas politiknya semenjak gerakan antiswapraja ditahun 46-an.

Gunung Lawu adalah pusat alam yang memayungi kehidupan masyarakat lokal dan lintas praja, yang sabuknya dikelilingi Hutan lindung dan hutan produksi, yang sayang pernah dan masih mengalami proses deforestasi pada era 90-an. Hutan Lawu di wilayah KPH Perhutani di Magetan dan Ngawi serte lereng selatan yang ada di wilayah Wonogiri saat ini mengalami fase kerusakan karena proyek jalan tembus Magetan-Karanganyar.

Terbuka kerimbunan Hutan Lawu arah jalur “magis” Cemoro Kandang dan Cemoro Sewu, berpotensi membuka jalan tol bagi praktik illegal logging dalam skala besar. Karena jalur transportasi yang semakin mudah.

Namun untunglah realitas kelestarian Hutan Lereng Lawu di wilayah sabuk Karanganyar-Sragen serta Ngrambe (Ngawi) masih terjaga kelestarian serta pesona ekologisnya. kehadiran dan fungsi Lembaga Masyarakat Desa
Hutan (LMDH) sebagai wujud pelibatan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan menjadi faktor subjektif pelestarian plasma Nuftah Gunung Lawu.

Ada sesuatu yang bisa dipelajari (lesson learned) dari adanya poses konservasi atau upaya menjaga zona hayati Hutan Gunung Lawu oleh masyarakat dan pemerintah lokal Karanganyar. Bahwa upaya merawat Hutan Lawu dan Gunung Lawu beserta masyarakat yang berdiam di sabuk sosial lingkar Lawu selama ini menggunakan pendekatan budaya dan aspek keyakinan multireligi.

Penjagaan kelestarian ekologi Hutan Lawu dan zona alam Gunung Lawu dicapai melalui pendekatan budaya yang memiliki nilai kearifan lokal. Mengingat berbagai khazanah kebudayaan lokal di Gunung Lawu secara substansial serta
aspek historis memiliki nilai substansial yang ramah dan cinta lingkungan. Kebudayaan lokal masyarakat Gunung Lawu boleh dikatakan sebagai “the art’s of conservation”.
Aurora Seni
Budaya Ritual Mondosio di Desa Blumbang dan Pancot (Kecamatan Tawangmangu, Karanganyar) misalnya, kental dengan aurora seni yang mengagungkan eksitensi alam sebagai mitra kehidupan masyarakat. Alam adalah saka guru bagi keberlanjutan kehidupan manusia.

Adapun “ritual sesaji” Sedekah Bumi dan tawur angin di Kecamatan Ngargoyoso dengan mengambil Objek Candi Sukuh memiliki pemaknaan mendalam bahwa alam dan manusia dalam posisi sederajat untuk saling menyapa dan menghormati koeksistensinya dalam kehidupan mikro dan makro.

Terjaganya zona ekologi dan zona Hutan Lindung Gunung Lawu beberapa tahun terakhir dilakukan dengan berbagai pendekatan sosio-kultural, yakni: pertama, integrasi pelestarian ekologi dan Hutan Lawu dengan aktivasi eksplorasi aset kesenian lokal yang mampu membawan pesan cinta lingkungan. Pengembangan kesenian dan kebudayaan lokal di Lereng Lawu (Karanganyar) diselaraskan dengan visi konservasi lingkungan.

Kesenian Lesung, yang kini menjadi ikon jamuan budaya bagi pejabat publik atau kegiatan formal di Karanganyar merupakan produk kesenian yang ramah dan memiliki arti ekologis.

Lesung adalah tempat menumbuk padi dan terbuat dari batang pohon yang berusia lanjut, merupakan simbol bahwa hidup manusia bergantung dan selaras dengan alam agraris.

Kedua, perlindungan terhadap aktivitas religi-budaya di berbagai zona ekologi Gunung Lawu. Aktivitas religi-budaya tersebut dilindungi serta dikembangkan pemerintah dan masyarakat sebagai bagian dari wisata ziarah yang mendatangkan spirit pelestarian lingkungan.

Di Kawasan Candi Cetho (Desa Gumeng, Jenawi) yang berada di atas ketinggian 1,200 dpl misalnya secara ajeg dilaksanakan ritual peribadatan Hindu-Jawa yang kental dengan aroma penghayatan harmoni antara alam dan manusia, alam dan penguasa alam.

Ketiga, adanya penguatan tekad kolektif masyarakat lokal yang mendiami lereng Lawu (Karanganyar) untuk serius memerangi praktik pembalakan liar dan praktik destrutif antilingkungan melalui “ikrar” budaya yang secara rutin diperingati dalam berbagai momentum. Di antaranya melalui tradisi bersih desa dan Temu budaya lintas golongan-agama.
Konservasi
Konservasi Hutan-Budaya di Lereng Lawu, sekarang ini menjadi panduan kebijakan publik tentang bagaimana pengelolaan aset sumber daya alam Gunung Lawu yang berwatak partisipatif. Masyarakat lokal Lereng Gunung Lawu juga memiliki ketegasan sikap sosial ketika mereka melakukan resistensi atas upaya eksploatasi sumber daya alam.

Kasus akan dieksloatasi sumber air Watu Pawon (Ngargoyoso, Karanganyar) oleh PDAM yang dianggap akan mengurangi pasokan air bersih bagi masyarakat lokal dan kegiatan produktif pertanian, ditentang keras oleh masyarakat lokal.

Masyarakat lokal menolak aura kapitalisasi alam yang selalu dilandasi dalih kepentingan “publik”. Masyarakat lokal menginginkan eksplorasi alam yang memiliki kekuatan tanggung-gugat. Untuk kepentingan masyarakat secara substansial.m (35)

— Ari Kristianawati, guru SMAN 1 Sragen
sumber: http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=4331861654020737546

Kamis, 29 Januari 2009

Belajar Kearifan di Bumi Jalatunda (3)

Saat embun mulai mengering di ujung daun, desa Jalatunda telah sibuk di pagi hari itu; Jum'at Legi, 23 Januari 2009. Hari begitu cerahnya sejak kemarin lusa.
" Ini hari selamatan bumi", kata Sandjuki (90 th), warga dukuh Kemukus dalam dialek lokal.
" Kenapa bumi harus dislameti?"
" Itu kewajiban kami, mensyukuri semua yang telah dihasilkan dari bumi, dengan cara persembahan"
Untuk keperluan itu pula, Parimun (36 th) yang telah belasan tahun tinggal dan bekerja di Jakarta , menyempatkan pulang ke desa asalnya.
Dan orang-orang pun berdatangan. Makin siang makin banyak pula yang datang ke tempat itu.
Pernahkah membayangkan barisan semut yang beriringan keluar dari celah batu di sebuah bukit?
Maka begitulah gambaran yang tengah terjadi di Jalatunda. Dan mereka bukan datang dengan tangan hampa. Laki-perempuan, tua-muda; juga anak-anak. Di punggung para orang dewasa bergayut bakul berisi nasi tumpeng beserta lauk-pauknya. Ditangannya terjinjing keranjang dari plastik tenun, tikar atau beberapa lembar daun pisang. Keramaian ini tak disia-siakan oleh para penjual berbagai barang kebutuhan. Bahkan ada pula suami-istri pedagang tembakau yang jauh-jauh datang dari daerah Temanggung. Keramaian Jalatunda juga menciptakan putaran dan arus finansial di kalangan bawah.

Tradisi "Caos" di Igir Tempayak

Jejak sejarah mengenai asal-muasal Igir Tempayak hanya ada dalam budaya tutur masyarakat Jalatunda. Literatur tentang itu, sejauh ini, hanya tesimpan dalam ingatan banyak orang di sana. Dan diantara banyak orang yang menjadi "perpustakaan hidup" itu adalah Miran Miharjo (50 th) yang juga masih bekerja sebagai mandor hutan. Bukan tanpa alasan jika ia harus mau mengembani tradisi selamatan bumi di desanya. Wahyu "kuncen" atas pundhen Igir Tempayak, menurut alur kesufian telah diturunkan kepadanya. Dalam melaksanakan amanah kampung ini ia mendapat dukungan Marsan Machori (60 th), yang terhitung masih kerabat dekatnya.
"Selamatan di Igir Tempayak, sesuai tradisi, akan dibabar pada jam genap" umumnya kepada hadirin, tamu undangan dan peziarah.
Hingga jam 10.00 wib, siang itu, masih juga banyak orang berdatangan ke sana. Halaman seluas lapangan badminton di kompleks pundhen dipenuhi tumpeng berikut orang-orang yang mengiringnya.
Diakui oleh Sang Kuncen, jumlah peziarah tahun ini tidaklah kurang dari seribuan orang. Mereka datang dari desa Jalatunda dan sekitarnya, tetapi banyak pula yang datang dari kota-kora lain. Seperti Rembang, Semarang, Pemalang, Comal, Wonosobo, Temanggung, Cilacap, Kebumen dan Banjarnegara sendiri. Juga dari Ciamis dan Sacang Tasikmalaya, bahkan ada pula yang datang dari Lampung dan Riau.

Spirit persembahan (caos) telah menjadi cara memanifestasikan keinginan banyak orang di sana. Menurut Teguh Budiyanto (53 th), warga Mandiraja Kulon yang telah lebih lima tahun membantu memfasilitasi antrian peziarah, mengaku senang jika ia dapat memberikan partisipasinya. Kebanyakan peziarah itu, disamping membawa hasil bumi dan sesaji, dipandu oleh Sang Kuncen juga mengikrarkan masud keinginannya di depan pundhen. Banyak diantara pengunjung itu mengakadkan bahwa apabila segala keinginannya itu terkabul, maka tak akan lupa baginya untuk memberikan persembahan pada ritual tahun berikutnya.
Sementara itu di halaman depan antara bangunan pundhen dan serambi tamu, di tempat mana hadir tamu dari aparatus negara dan beberapa pejabat dinas; digelar pula pementasan seni tadisi Daeng. Yakni tarian tradisional yang terdapat di desa Jalatunda dan dimainkan oleh 8 penari. Baru setelah lepas tengah hari hingga sore harinya digelar seni ebeg yang dimainkan oleh Kelompok Kuda Kepang "Setio Budoyo" dari Jalatunda.
Usai sudah di senja itu, ketika gerimis turun sejenak; serangkaian ritual Ruwat Bumi dan Selamatan Bumi yang dilangsungkan selama dua hari terakhir. Raut kelegaan nampak menghiasi wajah banyak orang di sana. Dan yang paling mengesankan berada di tengah masyarakat Jalatunda adalah watak sosial yang terbuka, jujur dan familiar. Sepertinya, entitas masyarakat Jalatunda yang demikian itu telah memiliki suatu identitas baru.

Selasa, 27 Januari 2009

Belajar Kearifan di Bumi Jalatunda (2)

Ruas jalan desa di depan rumah Kades Jalatunda siang itu menguapkan panas yang membikin badan terasa gerah. Tetapi tidak demikian dengan ratusan orang yang masih bertahan mengepung tratak panggung yang sejak malam sebelumnya mulai digelar pentas wayang kulit. Diseberang layar, masih dalam kompleks pekarangan Kades; deretan kursi juga penuh dengan penonton yang kebanyakan adalah penduduk desa Jalatunda dan sekitarnya.
Adalah Satam (46 tahun), Kades yang baru 1,5 tahun memimpin desa ini menuturkan bahwa ritual "ruwat bumi" yang menghabiskan biaya tak kurang dari Rp. 9 juta; untuk tahun ini tidak memungut beban biaya sesen pun kepada warganya. Pamong masyarakat yang masih kelihatan enerjik pada usianya ini, berani merogoh kocek sendiri. Meskipun begitu, untuk menutup kekurangan biaya pesta ia memobilisir dukungan finansial dari mereka yang sukses di luar kota serta berbagai fihak yang berempati akan tradisi ini. Dimana dalam kehidupan spiritual masyarakat Jalatunda, ritual demikian telah dilangsungkan sejak dahulu kala. Ia juga melihat urgensi dari tradisi ini, yakni sebagai peringatan buat semua, bahwa manusia yang telah menempati bumi ini secara turun-temurun, hendaknya selalu ingat dan selalu menghormati serta menjaganya kelestariannya.
Pada malam sebelumnya, pagelaran wayang yang didalangi oleh Sardjono (50 th) mengambil tema cerita pendirian negara Jawa. Bagaimana tatanan potensial bumi Jawa yang terdiri dari berbagai anasir alamiah itu diperikan untuk kemudian dipersatukan semua sumber daya yang ada di dalamnya. Berdirinya negara adalah sebuah proses panjang untuk mengharmoniskan semua anasir alam itu; berikut segala kontradiksinya. Bumi, langit, tanah, air, kayu, api, energi; sawah, sungai, laut, gunung, hutan, huma, hewan, unggas, serangga dan manusia. Semuanya.
Pentas wayang semalam suntuk ini hanya diistirahatkan sementara untuk menyongsong fajar. Pagi berikutnya, masih dengan dalang "ruwat" yang sama dilanjutkan kembali. Nyata sekali, dalam budaya Jawa, bagaimana wayang menjadi media "wewarah" dan alat "piwulang" atau pembelajaran sosial. Epik dipaparkan dengan simbol-simbol yang memiliki kelekatan dalam ingatan kolektif masyarakat.
Di atas semua itu, pendulum harapan meneruskan hidup bermartabat bagi semuanya menjadi kewajiban yang harus diembani negara. Kemuliaan cita inilah yang tidak boleh dilupakan oleh pemimpinnya.

Entitas Putut Jantaka.


Dalam kehidupan masyarakat tradisi Jalatunda, terdapat mitos yang sarat dengan kearifan tetapi disampaikan dengan simbol-simbol. Misalnya, ada seorang yang melakukan kebohongan dalam hidupnya. Maka ia akan berhadapan dengan advis sosial yang pada intinya berbunyi:
"Jangan bohong. Nanti akan menjadi mangsa Buta Jantaka".
Aras dari nilai-nilai kearifan ini bersumber pada referensi mitos cerita Putut Jantaka. Sebagaimana di"babar"kan oleh Ki Dalang, dalam epik yang melegenda. Adalah Joko Walidarmo; sosok pemimpin atau "Ratu Tani" yang dalam misi pangayomaning kawulo (menjadi pelindung rakyat); harus menghentikan "kerusuhan" yang dilancarkan seorang raksasa sakti bernama Putut Jantaka.
Berhadapan dengan Ratu Tani, betapa pun saktinya sang raksasa, tak bakalan berani karena kalah kesaktiannya. Tetapi sang raksasa butuh hidup dan untuk itu ia butuh makan. Maka kebijakan apa yang dibuat oleh seorang Ratu Tani itu terhadap hak dasar rakyatnya itu?
Jiwa kenegarawanan Jawa sejati selalu menemukan jawaban atas semua persoalan. Oleh Ratu Tani sang Putut Jantaka diijinkan memangsa apa yang menjadi haknya. Yakni semua hal yang dihasilkan dari kebohongan manusia. Esensi dari ajaran kearifan ini adalah: apapun yang dihasilkan sebagai akibat dari proses atau perilaku kebohongan itu, sejatinya hanya menjadi haknya raksasa. Manusia sejati tak boleh mengambil apa pun yang bukan menjadi haknya!
Dan Putut Jantaka itu hingga kini masih hidup dalam jagat spiritual Jalatunda dengan satu kewajiban pula: menjaga kelestariannya.

Sabtu, 24 Januari 2009

Belajar Kearifan di Bumi Jalatunda (1)

Nama Jalatunda dalam idiom wayang diJawa selalu mengingatkan orang akan keberadaan sumur. Sumur Jalatunda juga dapat kita jumpai di beberapa tempat. Di lereng barat gunung Penanggungan daerah Mojokerto terdapat patirtan bernama Jalatunda. Di Jawa Tengah, daerah Klaten, desa Jatinom, juga terdapat umbul Jalatunda. Demikian pula di kawasan budaya dan obyek wisata Dieng didapati bekas kawah yang kemudian disebut pula sumur Jalatunda.

Nah, yang akan dipaparkan dalam tulisan ini adalah sebuah desa bernama Jalatunda. Desa ini masuk dalam wilayah kecamatan Mandiraja di kabupaten Banjarnegara. Posisi geografis desa ini terletak pada 7 derajat 27 menit Lintang Utara; dan 109 derajat 31 menit Bujur Timur.
Desa Jalatunda ini luasnya 684,660 Ha. Berbatasan dengan desa Merden di bagian utara, sebelah timur ada desa Kalitengah; bagian barat berbatasan dengan desa Somawangi; sedangkan di sebelah selatan desa Jalatunda adalah desa Kalikumbang yang masuk kecamatan Sempor, kabupaten Kebumen.
Desa dengan topografi dataran dan lereng pada ketinggian 50,4 mdpl dan curah hujan 35 mm/tahun; bersuhu rata-rata antara 26–30 derajat Celcius. Desa ini berjarak 6 km dari Mandiraja dan 27 km dari kota Banjarnegara. Jumlah penduduk desa ini: 5.714 orang; dengan rincian 2.844 laki-laki dan 2.870 perempuan ini; terhimpun ke dalam 1.197 Keluarga (KK). Pertanian menjadi sektor andalan yang diwariskan turun-temurun. Dengan hamparan tanah produktif seluas 297 Ha lahan padi dan palawija. Tetapi desa ini memiliki kawasan hutan (pinus) cukup signifikan, yakni seluas 105 Ha. Mayoritas penduduk adalah petani dan buruh tani, serta hanya ada 4 orang PNS.
Terdapat 11 grumbul atau pedukuhan di desa Jalatunda. Diantaranya: Praugosok, Krinjing, Karanggedang, Kalijambe, Sema, Sawangan, Muntang, Klapapondoh, Gelap, Kemokong dan Karangkobar.

Etos Kerja Petani Gunung

Banyak orang yang tinggal di kawasan selatan mengenal petani desa Jalatunda sebagai pekerja yang tergolong tangguh dan jujur. Popularitas petani Jalatunda, yang tangguh dan jujur itu, dikenal bukan hanya di kawasan ngarai, melainkan hingga jauh ke pesisir Gombong selatan. Di desa Jladri, Kec Buayan misalnya; manakala datang musim-musim tanam dimana dibutuhkan mobilitas tenaga produktif di lahan-lahan persawahan. Selalu ada kelompok-kelompok kecil petani "boro", yang siap bekerja di sana dan bahkan tinggal untuk beberapa minggu lamanya. H. Sutrisno (65 th), pernah menjelaskan bahwa untuk membantu mempersiapkan lahannya ia menggunakan jasa petani Jalatunda yang ia kenal memiliki etos kerja tinggi.
Relasi tradisional dalam pola pengolahan demikian telah menciptakan lebih dari sekedar simbiosis-mutualism, tetapi juga memunculkan pula relasi unik yang dalam idiom tradisi disebut "paseduluran". Paseduluran demikian secara kultural telah menghapus sekat-sekat sosial, yang pada gilirannya menempatkan manusia ke dalam kedudukan yang setara. Kearifan tradisonal dalam tata hubungan eksternal masyarakat Jalatunda telah mendorong sistem sosial agraris yang egaliter.

Jalatunda Kini

Menapaki jalanan masuk desa Jalatunda orang akan terkesan dengan potensi alam, hasil bumi serta potensi budayanya. Bentangan lahan padi dan palawija, dengan huma di kejauhan, bukit dan kelok sungai.
Sumber daya pertanian yang ada dengan 297 Ha total lahan produktif, tetapi dengan sedikit jaringan irigasi setengah teknis, sedang selebihnya merupakan kawasan terbuka tadah hujan. Memang, di bagian tenggara desa ada sebuah sumber air besar yang berdekatan dengan hutan desa. Sebagian penduduk dengan cara patungan membangun jaringan pipa sepanjang puluhan kilometer untuk dapat memanfaatkan air yang ada.
Tetapi minimnya sumber daya air telah menjadi problem klasik. Padahal dahulu di sekitar pemukiman cukup banyak terdapat umbul-umbul atau sumber air kecil yang bisa dimanfaatkan untuk cadangan air minum. Telah lama pula sumber-sumber air ini kering dan tiada lagi. Kelangkaan sumber air ini tak cukup ditanggulangi dengan pengeboran sumur-sumur di sekitar rumah, karena sumur demikian hanya mampu sebentar menampung air dari hujan lewat sedikit resapan.
Tak cukup ketersediaan air, baik untuk keperluan tradisi pertanian maupun kebutuhan rumahtangga sebagian penduduk. Ada perubahan alamiah yang sebabkan kelangkaan air. Dan itu bukan sekedar karena ada alih fungsi hutan-hutan kecil di sekitar pemukiman, yang berubah menjadi tempat-tempat hunian baru. Seluas 105 Ha bentangan hutan di bagian selatan desa dikelola Perhutani dengan menanam pohon pinus. Ini menunjukkan bahwa di Jalatuda pernah diterapkan kebijakan deforestrasi tanaman yang mengubah hutan lama dengan tanaman budidaya berdaun jarum.
Kesaksian tentang lenyapnya sumber-sumber mata air di sekitar pemukiman sebenarnya merupakan fenomena alam kekinian yang menarik buat dipermanai. Ini akan memberi gambaran lebih jelas atas pertanyaan: Apa yang sebenarnya pernah dan akan terjadi di Jalatunda?
Dan apakah juga semua fenomena ini memiliki taut budaya dengan tradisi-tradisi yang ada di masyarakat Jalatunda. Sejak awal telah ada maskot misterius di sana.

Kamis, 01 Januari 2009

Pengantar Redaksi

Beberapa postingan yang sebelumnya ada di halaman ini telah diarsipkan.
Keinginan buat mendokumentasikan banyak hal tentang Lawangawu, Merdèn, Purwanegara -dan sekitarnya- tak akan bijak kalau hanya asumtif melulu.
Pembaca dapat menyampaikan resources apa pun seputaran LawangAwu. So, ia akan jadi semacam poros informasi ipoleksosbud yang tak mengabaikan kait historis. Semua info menjadi bahan kajian awal yang penting buat Redaksi, yang juga akan berubah jadi kolektivitas antar kolega kerja.
Sejatìnya, memang blog ìni diabdikan untuk memunculkan animo bacatulis secara luas, khususnya bagi masyarakat berbudaya yang tinggal di perbatasan tiga wilayah; Banjarnegara, Wonosobo dan Kebumen. Tapi, dunia blogging itu jelaslah tak bisa dibatasi oleh segitiga geografis demikian.
Sehingga materi blog inì akan berubah seiring kebutuhan yang mekar, jauh di luar ruang ide-ide Redaksi. Meski jauh melewati Lawangawu, persoalannya tetap sama. Bagaimana mem'bumi'kan ìde dan pemikiran kita semua. Semoga.

- Redaksì -
e-mail: lawangawu@gmail.com